Literatur, Review dan Resensi Buku

Feel Good Productivity – Ali Abdaal (book review)


Jadi ceritanya waktu itu daku lagi mencari buku yang kira-kira bisa mem-boost motivasi supaya semangat gitu. Perlu bacaan dengan nutrisi self development yang bisa menambah khazanah untuk bisa lebih produktif dan tertata. Gak sengaja melihat buku ini waktu ke toko buku Van der Velde. Yang menulisnya Ali Abdaal, dokter lulusan Cambridge, yang kemudian membangun bisnis menjadi enterpreneur dan youtuber mengenai health and productivity. 

Yang mendorong dia untuk menjadi youtuber dengan topik produktivitas adalah di saat ia merasa di satu titik draining banget sama pekerjaan yang dia jalani, sebagai dokter di UK’s National Health Service. Feel-good productivity is a simple method. But it changes everything. It shows that if you’ve ever felt underwater, you don’t have to settle for staying afloat. You can learn how to swim.

Ada tiga bagian yang dibahas gimana supaya survive in your field, walaupun sedang stuck, bosan, fed up, lelah, dst. Yaitu Energise, bagaimana bisa feel good dalam pekerjaan kita, membooster energi kita untuk produktif, dan membantu kita untuk punya tenaga dalam melakukan apa yang menurut kita penting; Unblock, bagaimana mengurai kebuntuan dari rasa mager (malas gerak) dan procrastination, memulai, dan nge-gas; dan yang terakhir adalah Sustain, bagaimana membuat perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang, agar produktivitas kita terus konsisten, dan mengatasi kelelahan fisik/mental bahkan burnout.

Saya gak akan bahas detail di tiap bagiannya, tapi lebih ke bahasan mana yang menurut saya bagus untuk diingat, disimpan, dan tentunya diaplikasikan. Jadi saya tulis biar saya gak lupa juga. Dalam bab-bab di dalam buku ini, Ali Abdaal menuliskan langkah-langkah praktisnya dalam bentuk sub judul experiment. Jadi saya tulis aja eksperimen-eksperimen yang bagi saya menarik dan penting.

PART 1: ENERGISE (Play, Power, People)

Play

No failure is just a failure. It’s an invitation to try something new. Yes, kadang emang kegagalan itu pasti membuat kecewa, dan itu normal. Tapi pikiran kita bisa dibalik setelah menerima kegagalan itu, bahwa akan ada “permainan” baru yang bisa kita kerjakan setelahnya.

Kalau dalam pekerjaan kita merasa drained dan overwhelmed, coba tanya diri sendiri: ‘How can I approach this with a little less seriousness, and a little more sincerity’. Jadi coba menjadi less serious untuk mencapai target, tapi coba untuk lebih tulus dalam menyelesaikan tugas tersebut. Jadi approach-nya gak membuat diri kita terbebani dengan end result-nya.

Power

Yang paling mengena dalam bagian ini, dan sudah saya coba terapkan, dan cukup berhasil adalah mengenai self confidence. Jadi kita mencoba untuk flip the confidence switch. Ini masalah kebanyakan orang sih untuk mempunyai kepercayaan diri (atau orang Indonesia, soalnya orang Londo malah pedenya suka berlebihan, jadi annoying). Jadi, saat kita merasa gak pede nih untuk melakukan sesuatu, kita bisa coba untuk challenging yourself to behave as if you’re confident in your task, even if you’re not. Jadi kayak ‘belagak’ bisa padahal ya biasa aja. Sekarang yang saya coba praktekan adalah ngomong bahasa Belanda bak orang lokal, dan bener juga, ini bikin saya merasa lebih pede aja. Bodo amat salah-salah juga, dan orang yang penting ngerti.

People

Kalau soal ini pasti di tiap buku self development sering disebut sih, dan tentunya sangat sejalan sama value Islam. Walaupun dalam buku ini yang dibilang adalah ‘life is more fun with friends around’. Ada temen-teman dan orang terdekat yang pasti bisa ngangkat energi positif kita. Yang perlu kita perhatikan adalah, how to find them and keep them close. Ya kayak muslimlah, bertemanlah dengan orang soleh. Dalam bab ini juga dibahas bagaimana cara komunikasi yang baik, yaitu menjadi orang yang aktif mendengarkan dan memberikan dorongan positif (konstruktif). Juga kita sebenernya bisa membuat diri kita bahagia ketika kita menolong atau memberi pada orang lain. Ini values yang Islam banget gak sih, bukan kayak si otak kapitalisme barat.

PART 2: UNBLOCK (Seek clarity, Find courage, Get started)

Seek Clarity

Procrastination, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan atau tugas yang harus diselesaikan. Ini adalah hal yang biasanya bikin kita ‘nyangkut’ kalau lagi bekerja. Common knowledge kalau kita procrastination udah menyerang, itu tandanya kita kurang punya motivasi yang kuat. Dan kalau kita kita feel umotivated, kita bisa memaksakan prinsip disiplin. Saya mengakui sih, disiplin ini sebenarnya bisa jadi kunci untuk menyelesaikan tiap pekerjaan dengan tepat waktu. Tapi kata Ali Abdaal di buku ini, disiplin sebenarnya bisa jadi kebalikan dari motivasi. Sebab disipilin artinya taking action despite how unmotivated you are. Bener juga sih. Sapa coba yang gak males ngeberesin manuskrip riset? Sapa yang gak males untuk lari 5 km walaupun cuaca dingin? Siapa yang gak males belajar bahasa Belanda? (Itu semua saya). Tapi pada akhirnya semua itu ya saya kerjain juga because of the discipline thing. Ketika saya selami, ternyata saya memang punya karakter disiplin yang lumayan waktu tes personaliti, mungkin itu salah satu yang membuat saya bisa survived nyelesein PhD.

Tapi kemudian yang jadi bahasan di sini adalah soal motivation and disicpline are useful strategies, tapi bukan sebagai jalan keluar jangka panjang. Kita harus mengerti dulu in the first place apa sih yang menyebabkan kita berat dengan apa yang kita kerjakan, what makes us feel bad about it, and we have to tackle the issue head on. Tanyakan kejelasan dari tujuan kita pada diri sendiri, If you don’t know when you’re doinng something, chances are you won’t do it.

Yang baru saya tahu di sini diperkenalkan metode NICE goal sebagai approach to goal-setting, instead of SMART goal. Yang SMART goal ini saya yakin udah banyak yang pakai sih. Saya juga dulu pakai untuk TSP (Training and Support Plan) di tahun pertama PhD untuk menentukan mau ngapain aja nih PhD.

SMART goal: Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Time-bound ini kemudian dibandingkan dengan NICE goal: Near-term, Input based, Controllable, and Energising. Yang saya tangkap perbedaannya NICE goal ini membuat target yang ingin kita capai lebih menyenangkan dan rileks, daripada SMART yang terkesan menuntut untuk tercapai. *contoh spesifiknya bisa dibaca di bukunya.

Find Courage

Kadang kita bukannya malas mengerjakannya, tapi kita takut untuk mengerjakannya. Takut apakah kita bisa, takut apa anggapan orang lain, takut gagal, takut ditolak, dan ketakutan-ketakutan lainnya yang bahkan belum tentu terjadi, dan cuma ada di pikiran kita doang. Maka untuk menanggulanginya, kita bisa melegitimasi dan memahami the fear tersebut supaya kita bisa memiliki the courage. Tanyakan: 1. Kenapa kita belum memulai aja sih si proyek/tugas ini? 2. Apa sih yang saya takutkan? 3. Dari mana rasa takut itu datang? Setelah menelaah hal tersebut, kita bisa lebih yakin untuk mengalahkan rasa takut tersebut, dan berani memulai.

Get Started

Inertia. Istilahnya sih keren, tapi kalo dibahasa kita inersia ini sama aja kayak mager, wkwk. Inersia ini adalah kecenderungan sebuah benda untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya. Dan sekalinya mager, maka akan lebih mudah untuk tetap diam daripada bergerak, bener gak? When you’re doing nothing, it’s easy to carry on doing nothing. Dan sebaliknya juga begitu, kalau udah punya suatu kebiasaan gerak, maka akan mudah to carry on. Inertia ini yang harus kita lawan. Apa sih yang membuat kita mager? Adanya friksi-friksi yang mungkin membuat diri kita jadi enggan bergerak. Utamanya ada friksi dari lingkungan dan dari emosional. Jadi kita harus mengeliminasi friksi tersebut supaya mudah bergerak. Contoh misalnya saya udah niat nih mau lari pagi, tapi itu magernya pasti ada aja. Saya mencoba mengurangi friksi dari lingkungan (surrounding) dengan meletakkan baju olahraga di meja yang terlihat mata, jadi gak ada alasan gak make itu di pagi hari. Lalu sepatu olah raga juga saya keluarkan, simpan di atas rak sepatu. Sedangkan friksi dari pikiran (emotional) ini bisa diakalin dengan memberikan input “mudah” untuk otak kita: “Saya cuma lari 2 km aja kok, paling 20 menit.”Tapi hasilnya saya bisa lari 4 km. Hanya karena berpikir 2 km itu sedikit.

Intinya just simply doing something instead of doing nothing, meski hanya sedikit. Karena lama-lama jadi bukit, hehe. Dan saya juga percaya kita mah usaha aja, mau sedikit atau banyak, nanti Allah yang akan menyampaikan ke tujuan tersebut, aamiin. Hal berikutnya yang hampir mirip dengan section people di atas adalah kita juga baiknya create the supporting system to make us keep going on. You have to find you accountabillity buddy. Seseorang, bisa sahabat, rekan kerja, atau guru yang bisa keep you on the track. Suami tentu adalah buddy utama. Ada juga supportive buddies dan komunitas yang membuat saya untuk istiqomah sebagai muslim yang tinggal di negara minoritas (penting banget). Biasanya saya punya buddy yang berbeda-beda untuk tiap task yang saya ingin kerjakan. Misalnya saya punya buddy untuk murojaah dan menghapalkan Al Qur’an, walaupun progres saya ya tipis-tipis. Ada buddy untuk mengasah belajar bahasa Belanda saya, meski hanya 1.5 jam dalam seminggu. Dulu saya punya buddy untuk lari, dianya lebih semangat sih dari saya soalnya haha, jadi saya yang ketarik-tarik. Yang belum ada ini sekarang buddy untuk menyelesaikan proyek nulis saya. Well, I tried untuk make teori melawan inersia yang lain dan metode NICE goal, lumayan berhasil sih. Tapi sekali ada beberapa hari yang ke-skip, susah lagi memulainya. Maka buddy is truly help sih buat saya.

PART 3: SUSTAIN (Conserve, Recharge, Align)

Conserve

Di bagian ini ada bahasan penting mengenai mengenali burnout yang mungkin saja terjadi, bisa kecil atau besar, bisa setitik atau berjangka panjang. Ada tiga burnouts yang mungkin terjadi: 1. Overexertion burnout, yang terjadi memang karena kuantitas kerja yang banyak; 2. Depletion burnout, yang disebabkan karena mood kita yang kacau akibat kelelahan mental yang gak sempat diputus untuk istirahat; 3. Misalignment burnout, yang sesederhana karena you’ve been using youor energy in the wrong way.

Salah satu kuncinya untuk memutus burnout ini sebenarnya ada di proper rest and breaks. Emang gak bisa sih kita nge-gas terus, kalau gak mau kehabisan bensin di tengah jalan, terus pom bensinnya masih jauh pula. Terpaksalah kita terseok-seok jadinya. Maka kita juga harus bisa “melestarikan” energi kita untuk bernapas jangka panjang. Contoh simpelnya sebenarnya baru saya sadari juga di Belanda ini. Kalau di sini ada event atau kuliah atau seminar gitu ya, pasti selalu diselingi coffee breaks. Yang kadang saya anggap, yaelah baru 1.5 jam udah breaks lagi? Tapi ternyata itu penting lho untuk mempertahankan konsentrasi kita dalam mengikuti keseluruhan rangkaian acara. Tentu dalam melakukan pekerjaan yang lebih besar dan rutinitas yang panjang, kita butuh juga healing dan more space untuk recharge.

Recharge

Sebenarnya sederhana aja recharge ini, gak yang harus healing yang jalan-jalan ke luar nagrek juga sih, dan gak harus merogoh kocek sedalam Palung Sunda juga. Yang penting kita bisa memberikan diri kita sendiri waktu dan space untuk memulihkan energi. Dan tentu tiap orang punya cara yang berbeda-beda. Bagusnya memang kita mengenali cara-cara tersebut supaya gak bingung.

Kita berikan ruang untuk kepala kita untuk gak mikir yang ribet-ribet dulu, pikirkan hal yang membuat rileks sesederhana melihat yang hijau-hijau, melihat bunga yang indah, strolling around and wandering around. Kalau mau sendiri ya bisa, untuk menghilangkan noise yang ada. Kalau mau ditemani orang sekalian curhat bisa juga. Intinya membuat kita jadi lebih feeling calm aja. Cara lainnya adalah kita bisa mencari aktivitas alternatif di luar yang rutinitas kita, yang bisa membuat kita merasa terbebaskan. Misalnya nyanyi, hahah.. atau ngelukis, atau merajut. Kalau kita mah sebagai muslim sebenarnya sudah dikasih juga sama Allah jalan untuk recharge 5x dalam sehari, bisa lebih malah kalau mau. Itu tuh, udah break yang ideal banget di sepanjang hari kita yang padat. Masya Allah gak sih? Allah tuh sayang banget sama kita sampai udah disiapkan seperti itu.

Align

Di bagian akhir ini penulis mengajak kita untuk membuat planning mengenai short-trem future, medium-term future, and long-term future. Di bagian ini fokusnya adalah bagaimana rencana kecil di setiap harinya akan bisa menjawab rencana besar di kemudian hari. Terkadang kita punya resolusi yang besar yang akan kita capai di tahun 2025: menerbitkan buku, lulus kuliah, membangun bisnis. Tapi kita suka lupa bagaimana rencana besar itu dipecah menjadi langkah-langkah kecil di setiap harinya. Gimana mau menerbitkan buku kalau dalam seminggu aja gak nulis apa-apa? Gimana mau lulus kuliah kalau kerjaanya main game mulu? Gimana mau membangun bisnis, kalau gak tahu mulai dari mana? Jadi it’s ok to have baby steps, rather than not at all. Di sini saya jadi lebih menghargai usaha-usaha kecil yang konsisten, daripada usaha besar tapi random dan jarang-jarang.

Yang paling mengena sih buat saya adalah tentang how to get a clearer view of life. Ternyata caranya adalah when we think about death. Ini mah udah skakmat sih. Ya pada akhirnya, ketika kita sudah membuat perencanaan, mengusahakan produktivitas, lalu terbentur halangan, yang membuat kita bisa sadar lagi bahwa semuanya sementara ya mengenai kematian. What matters for us the most pada akhirnya akan membuat kita bisa align dengan apa yang akan kita lakukan di dunia sebagai tabungan kita di akhirat. Dunia mah fana, akhirat yang abadi. Tuh kan, Masya Allah lagi ternyata kesimpulan yang terakhir yang bisa diambilnya.

Semoga bermanfaat!

2 thoughts on “Feel Good Productivity – Ali Abdaal (book review)”

  1. Ke sini lg aku pas lg drain, keinget ternyata dlu blm klar baca 🫠

    Gongnya iya bgt lagi. Klo inget mati kita suka mendadak takut terus jd rajin gt ya. Tp tantangan seharusnya biar rasa takut itu ada maka kita kudu nerapin tips sblmnya.

    simply doing something instead of doing nothing ini kayaknya cocok kupake nih skrg. Soalnya blkgn lg ngeliat satu hal itu hal berat shg jadi beban, pdhl kalau disederhanakan lg ternyata tdk seberat itu ya.

    nuhun pisan ringkasannya bund

Leave a reply to Ghina Rahma Cancel reply