Cerita Runa, Cerita Runa dan Senja, Cerita Senja, Children in the Netherlands

Yang Unik Mengenai Kebiasaan Anak di Sekolah Belanda (1)

Haloo Bunda… mau lanjut lagi nih topik mengenai upbringing children in the Netherlands from my Indonesian’s emak-emak prespective. Selalu seru untuk dituliskan, dan menurut saya penting juga, supaya emak-emak lain, baik yang di Indonesia maupun yang di Belanda bisa mengambil hikmah dan pengalaman yang saya ceritakan di sini.

Baca postingan-postingan sebelumnya di kategori ini: Children in the Netherlands.

Kali ini saya mau membahas mengenai hal-hal unik di lingkungan pergaulan dan sekolah anak di Belanda. Kenapa unik? Karena biasanya beda dari yang biasa ditemukan di Indo, atau beda dari pengalaman masa kecil saya dulu (hyaelayah.. kamu masa kecilnya udah berapa abad yang lalu kali Monik, haha).

Waktu baru-baru masuk ke lingkungan sekolah Belanda, yaitu waktu Runa menginjak usia 4 tahun, banyak hal-hal baruyang saya temukan di lingkungan sekolah dan pertemanan anak. Semakin lama, jadi lebih ngerti, dan menambah perspektif baru juga. Apalagi Runa juga semakin besar, dan sekarang di grup 6, ditambah Senja pun masuk basisschool juga di usia 4 tahun.

Healthy lunch

Di sekolah Belanda, anak HARUS bawa bekal, soalnya gak ada warung, jajanan, apalagi mamang gerobak yang jualan di sekolahan, wkwkwk. Bekalnya terdiri dari dua jenis biasanya, karena istirahatnya juga dua kali. Istirahat pertama sekitar jam 10. Anak-anak disarankan (lebih ke harus sih) untuk membawa buah, bisa pisang, apel, pir, jeruk, anggur, dll. Asal gak durian aja sih, haha. Selain mahal dan cuma dijual dalam bentuk frozen, itu gak lazim juga, wkwk. Kalau anak-anak Londo biasanya bawa apel tu satu buah aja gitu, gak dipotong apalagi kulitnya dikupas. Tapi karena Runa dulu susah makan buah, jadinya apel dan pir selalu dikupas dan dipotong, biar tinggal disodok pake garpu. Alhamdulillah Senja lebih mudah makan buah, jadi dikasih apa aja mau dimakan. Kalau bawa pisang biasanya anak-anak pake wadah khusus bentuk pisang biar gak benyek atau menghitam.

Continue reading “Yang Unik Mengenai Kebiasaan Anak di Sekolah Belanda (1)”
Catatan Hati, Mumbling

Kenapa dengan Introvert?

Belakangan ini saya sering melihat postingan mengenai introvert. Mungkin hal ini muncul setelah pandemi melanda. Adanya masa-masa lock down sepertinya malah melegitimasi keberadaan dan watak para introvert. Jadi para introvert malah merasa merdeka ketika ada masa-masa gak boleh kemana-mana dan minim interaksi di dunia nyata. Kalau di dunia maya mah ya lanjut aja, da ga terbatas. Malah saya juga gak sengaja nemu ada akun instagram yang membahas dan membuat postingan dan reels mengenai sifat dan tingkah laku introvert secara khusus. Misalnya orang introvert itu kalau habis ngumpul-ngumpul, mereka merasa drained atau capek banget karena energinya dipakai semua untuk berinteraksi. Atau fakta bahwa orang introvert memiliki circle pertemanan yang sedikit tapi erat, mereka sangat effort untuk menjalin hubungan dengan orang baru. Which is gapapa sih, namanya juga postingan.

Saya iseng aja nih search di instagram mengenai akun atau hastag introvert dan extrovert. Lucunya, saya banyak menemukan akun dan postingan mengenai introvert, misal ada akun ‘thefunnyintervert’, ‘introvertgaul’, ‘interovertcasual’, etc, yang isinya tentang itu tadi. Tapi berbeda ketika saya search dengan kata extrovert, akun setipe itu gak lebih banyak.

Continue reading “Kenapa dengan Introvert?”
Being a Student Mom, Mom's School stuff

The Paranymphs (part 2)

Dulu saya pernah cerita mengenai pengalaman saya menjadi paranim di sidang S3/defense sahabat saya, Sofa, Oktober 2020. Di postingan tersebut saya cerita mengenai the role of paranymph di defense. Mendekati akhir tahun 2022, saya juga menjadi paranim di defense Mbak Afifah (yang menjadi tandem saya di defense-nya Sofa). Mbak Afifah melangsungkan defense secara hybrid, karena Mbak Afifah ada di Jember, Indonesia, dan beberapa pengujinya/oponen secara fisik dan online. Yang hadir langsung di ruangan defense di antaranya supervisornya, beberapa oponen yang berasal dari University of Groningen, dan rector maginificus sebagai moderator/pemimpin upacara. Ternyata dua paranim juga tentu diharapkan datang secara offline. Jadilah saya dan Mas Rifqi datang ke aula academic building, menjalankan tugas sebagai paranim.

Kali ini saat defense saya tiba, saya pun sudah ancer-ancer untuk “melamar” paranim yang secara tulus dan ikhlas mau membantu saya dalam dari urusan tetek-bengek sampai urusan penting soal defense. Paranim seharusnya adalah seseorang yang bisa membuat kita nyaman dan tenang di situasi genting, seperti persiapan ini-itu, sebelum dan di saat hari-H defense. Someone that we can rely on. Pertimbangan lain dalam memilih paranim adalah akan lebih baik jika ia adalah kolega di departemen yang sama agar ia sudah familiar dengan kolega lainnya (penting untuk urusan korespondensi, mock defence, undangan, dll). Selanjutnya kalu untuk preferensi saya, akan lebih baik kalau paranim adalah orang Indonesia juga, mwahaha. Bukannya saya tuh pilih-pilih teman atau gak mau bergaul dengan orang non-Indonesia. Tapi saya merasa lebih nyaman dan ekspresif aja ketika paranim memiliki “latar belakang” yang sama dengan saya. Pas panik dan rempong ngomong enggres kadang ga dapet aja sih feel-nya, haha. Namanya juga bahasa ibu yang paling nyaman, seperti pelukan ibu.

Continue reading “The Paranymphs (part 2)”
Being a Student Mom, Mom's School stuff

PhD Defense in the Netherlands

PhD Defense adalah bagian terujung dari perjalanan PhD di Belanda. Katanya sih hal paling menegangkan sekaligus mengharukan. Walaupun katanya lagi bukan bagian tersulit dari studi PhD. Kenapa? Defense lebih pada seremonial pengukuhan saja, yang didahului oleh serangkaian diskusi antara opponent (penguji) dan promovendus. Oponen yang hadir merupakan reading committe yang menentukan buku thesis si promovendus layak “terbit”, dan profesor/doktor di bidang terkait penelitian di buku thesis. Diskusinya secara umum bukan debat atau bantah-bantahan, ngotot-ngototan. Tapi lebih pada bertukar ide, menanyakan pendapat, mengonfirmasi. Sebelum bertanya bahkan para oponen dengan sangat sopan memuji dan memberi selamat pada promovendus atas buku thesisnya, kerja kerasnya, tak lupa menyelamati promotor/supervisornya juga.

Continue reading “PhD Defense in the Netherlands”
Being a Student Mom, Mom's School stuff

The Journey of My PhD Thesis Book

Yang membuat PhD thesis book di Belanda menjadi sesuatu yang personal adalah adanya kebebasan yang diberikan univeritas pada para PhD untuk mendesain sendiri buku thesisnya. Tentunya content yang paling penting, sebab tidak akan ada buku thesis ini jika isi di dalamnya tidak diapprove oleh reading committe. Setelah supervisors/promotors memberikan lampu hijau pada PhD untuk submit sebenarnya hilal kelulusan sudah hampir terlihat. Tahap berikut setelah submit ke sistem Hora Finita adalah pemeriksaan dari reading committe yang biasanya terdiri dari tiga orang. Siapakah reading committe? Mereka adalah profesor yang merupakan ahli di bidang penelitian kita. Tidak mesti sama persis dengan bidang kita, tetapi ada field mereka yang beririsan dengan penelitian kita. Contohnya reading committe yang memeriksa thesis saya antara lain: profesor/dokter dengan penelitian di bidang diabetes tipe 2, profesor di bidang epidemiologi, dan profesior/internis di bidang geriatrik/multimorbid.

Kembali pada bahasan PhD Thesis Book yang unik ini. I do feel that this thesis book is really personal to me. So, I really think about the cover and the layout inside. Saya masih ingat dulu buku skripsi S1 saya yang dijilid berwarna hijau telur asin. Semuanya seragam, hampir tiada beda. Yang membedakan mungkin dari segi ketebalannya saja. Thesis S2/master saya di Groningen bahkan tidak berbentuk buku, “hanya” berupa dua buah research report dari dua penelitian berbeda.

Lain dengan PhD Thesis Book di Belanda yang sangat bervariasi cover dan desainnya. Ketika saya melihat ada cahaya untuk submit thesis di depan mata, saya mulai memikirkan bagaimana rupa buku thesis saya ini, seperti apa ilustrasi utamanya, bagaimana ilustrasi itu menggambarkan isi thesis saya, warna apa yang menonjol, dan yang penting juga siapa yang akan mendesain ini semua?

Continue reading “The Journey of My PhD Thesis Book”
Being a Student Mom, Mom's School stuff

Propositions [stellingen]

“The propositions should be scientific, not religious, and should be defensible scientifically.  I suggest you change both 8-9 into one scientific proposition outside your work.” (EH, my second promotor).

Itu jawaban supervisor kedua saya ketika saya mengajukan propositions (atau dalam bahasa Belandanya stellingen) padanya. Memang propositions itu apa pentingnya? Dan gimana pengaruhnya sih dalam kelulusan seorang PhD?

Penting, sebab propositions adalah salah satu syarat kelengkapan kelulusan PhD sebelum defence. As a PhD in the Netherlands, along with your thesis you have to prepare and defend a few–usually 8 to 10–propositions.

Seperti yang dijawab oleh supervisor saya di atas, propositions are statements that are “opposable and defendable” and also should cover your research topic in the thesis book. Biasanya di urutan awal propositions berupa pernyataan dari chapters yang ada di buku thesis. Lalu, beberapa poin terakhir mengenai topik yang lebih umum, which can resonate or be relatable with everybody outside the research topic. This point can reflect your personality, concern about a specific topic, or what matter to you.

A bit tricky to write propositions, though it seems simple. Beberapa kawan PhD saya bahkan sudah “menabung” propositions dari tahun pertama PhD. Saya? Jangan tanya, saya mah bahkan bertanyea-tanyea, akankah saya mencapai masa dalam menulis propositions? Sering saya terpikir di tengah jalan, di tahun kedua, ketiga, dan keempat PhD saya, ah saya akan menulis ini dan itu. Tapi akhirnya tak ada satupun kalimat propositions yang saya siapkan. Saat itu saya lebih fokus pada membereskan semua riset untuk ditulis di buku thesis dan melakukan submission ke jurnal. Jadi, propositions baru saya tulis sekitar 4 bulan sebelum saya defense, wakwawww.. Itupun ketika diingatkan otomatis oleh sistem monitoring PhD, si ‘Hora Finita’.

Tadinya saya pikir, ah okelah gampang nulis propositions dari chapters thesis, ambil aja secuplik kalimat conclusion atau future prespective dari chapter tersebut, selesai. Lalu sisanya aya berencana mengambil dua poin propositions dari ayat suci Al-Qur’an dan hadits sebagai refleksi PhD journey saya. Tentu saya punya ayat dan hadits favorit yang membuat saya yakin (meski suka pesimis). Statements 1-6 saya ambil dari tiap chapters, statements nomor 7 adalah pandangan/argumen saya untuk topik penelitian saya (yaitu deprescribing) ketika diimplementasikan di Indonesia. Statements nomor 8-9 adalah ayat/hadits favorit tadi.

Eng ing eng, ketika saya ajukan ke supervisor pertama dan kedua, tentunya banyak komen dan perbaikan. Kata Si Ibuk spv tercintah: statements are also not a summary of your findings. Instead, they are based on your findings and should be defendable using your findings when you say (this thesis). I have now rephrased most of them, but feel free to adapt according to what you want to state.

Propositions eike ternyata kena banyak revisi! Karena saya agak ‘menggampangkan’ tadi. Yang saya pikir sebelumnya propositions adalah secuplik kesimpulan dari penelitian. Namun ternyata kita harus agak kritis untuk mencari celah ‘kontroversi’ dari simpulan tadi yang kemudian bisa jadi bahan diskusi saat defense. Akhirnya saya baca baik-baik suggestion dari supervisor pertama saya dan saya perbaiki. Saat itu ia tidak banyak komentar mengenai statements berupa ayat Al Qur’an dan hadits yang saya simpan di nomor 8 dan 9. Supervisor kedua saya yang lalu memberikan komentar pada statements 8 dan 9.

Yang saya tulis adalah:

Whosoever takes a path in search of knowledge, Allah will make easy for him/her a path to Heaven (hadith; HR: Muslim).

Hasbunallah wa ni’mal-wakil. Allah is sufficient, and He is the best disposer of all affairs.

Kedua itu yang menjadi pegangan saya ketika goyah menjalani PhD path ini. Supervisor kedua saya ternyata concern terhadap pernyataan yang saya ajukan di atas. Sebenernya saya sudah beberapa kali mendengar kalau beliau ini against ketika ada PhD yang memberikan statements berupa religious view seperti ayat Al Qur’an. Tapi saking favoritnya kedua ayat/hadits di atas, jadi saya coba aja. Ternyata emang ditolak. Tentunya saya harus nurut dong yaa. Ngeyel mah bisi ntar gak jadi dilulusin kan. Walaupun pernyataan Si Bapak spv saya ini make sense sih. Dengan rendah hati, saya menjawab: I agree with you, it’s true that religion view shouldn’t be debatable. Memang ayat Qur’an bukan sesuatu untuk diperdebatkan karena itu bukan kontroversi.

Akhirnya saya mencari pernyataan yang lebih general untuk bisa saya masukkan ke dalam propositions. Saya ingin tetap memberikan pandangan bahwa Islam adalah agama yang mementingkan ilmu dan pendidikan. Bahkan banyak scholar dari ratusan abad lalu merupakan muslim. Cendekiawan dan penemu yang hasil karyanya dan penelitiannya kita gunakan saat ini merupakan seseorang dengan Islam yang kuat. Yang kedua, saya mencari sebuah statement yang “saya banget”. Apa sih yang menggambarkan PhD journey saya yang penuh liku, tapi kemudian bisa saya lewati juga? Akhirnya jadilah dua statements di bawah yang saya ajukan.

Alhamdulillah akhirnya kesembilan statements yang saya ajukan diapproved: The propositions submitted by you have been judged to be defensible by your supervisors. Kata Hora Finita.

So, saran saya, sebenarnya bagus juga untuk menabung beberapa statements untuk propositions PhD thesis.

  1. Bisa membuat lebih percaya diri dan visioner, bahwa we shall overcome this PhD journey. Gak kayak saya yang punya penyakit pesimis-an,
  2. Bisa membuat lebih mengenal penelitian kita dan mencari celah kontroversi yang menarik untuk didiskusikan
  3. Bisa menjadi bahan refleksi dalam perjalanan ini….. Agar kita menjadi manusia yang lebih bijak (hasek)

Berikut propositions saya:

Oiya, ketika menjelang defense, saya mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan kalau propositions saya ini akan ditanya oleh para oponen. Kadang oponen senang membuka diskusi dengan menanyakan apa maksud dari statement yang kita tulis. Misalnya oponen akan meminta salah satu dari paranim untuk membacakan salah satu statement. Kemudian mereka akan bertanya, “Can you elaborate more of what you state there?” Dari kemungkinan tersebut, saya merangkai jawaban dari setiap statement yang saya maksud: ini merujuk ke chapter berapa, dan apa data/result pendukung pernyataan sata itu. Dengan begitu, saya lebih agak pede menuju persiapan defense.

Begitulaah, sekian dulu. Saya akan post reli mengenai PhD journey in Netherlands. Supaya ada gambaran bagi yang penasaran gimana sihhh S3 di Londo.

Doei!

Catatan Hati

Yang Penting Mengenai Fasilitas Kesehatan Anak di Belanda

Kali ini saya mau sharing sedikit mengenai apa-apa yang perlu ibu-ibu ketahui mengenai fasilitas kesehatan anak yang disediakan oleh pemerintah Belanda. Buat ibu-ibu kan kesehatan anak pasti yang paling penting ya. Tapi pas baru awal-awal tinggal di Belanda pasti rasanya bingung, ini apa yang harus diurus? dari mana mulainya? harus mengontak siapa?

Sama sih saya dulu juga awalnya bingung, kenapa ada ini itu? Kayak ribet banyak yang diurus dan harus pergi ke yang namanya consultatie bureau, harus cek ke sini, buat janji ke sana, dan lain-lain. Tapi lama-lama ternyata sistem di Belanda yang satu pintu dan apa-apa serba terjadwal malah memudahkan lho.

1. Asuransi anak gratis

Asuransi di Belanda itu hukumnya wajib (kata pemerintah), jadi tidak ada yang bisa mengelak untuk membayar kewajiban ini. Bisa aja ga mau ikutan bayar, tapi nanti kalau tiba-tiba membutuhkan layanan kesehatan, bisa jadi ditolak atau harus bayar dengan biaya besar. Kisaran asuransi per orang bervariasi tergantung paket dan jenis asuransi. Bisa dari 50an euro (biasanya oaket hemat student), sampai 100an euro. Plus jika nambah untuk gigi atau kehamilan bisa upgrade paket. Nah untuk anak, asuransi ini gratis, tapi harus tetap didaftarkan di salah satu asuransi orang tuanya. “Ngikut” gitu istilahnya. Nanti anak tetap punya kartu dan nomor asuransi sendiri. Untuk pelayanan kesehatan ke dokter, obat, emergency, rawat jalan, rawat inap, sudah ditanggung asuransi tadi.

2. Pelayanan kesehatan gigi anak gratis

Cek gigi rutin tiap 6 bulan sekali sangat dianjurkan. Walaupun tidak ada panggilan khusus dari klinik gigi/rs/posyandu, tapi lebih baik kita yang mencari sendiri layanannya. Jadi daftarkan anak ke klinik gigi tertentu, lalu tinggal buat janji deh. Oiya dengan catatan udah punya asuransi tadi ya. Kalau udah cek gigi baru nanti diputuskan apa butuh penanganan lebih lanjut atau tidak. Misal anak teman saya ada yang gigi (susu) memang agak bermasalah, roges, bolong-bolong, dll. Itu lumayan juga perlu beberapa kali tindakan. Ya dicabut, ditambal, dsb. Semuanya gratiss.

Continue reading “Yang Penting Mengenai Fasilitas Kesehatan Anak di Belanda”
review buku

Office 12 oleh Aninta Mamoedi [Review Buku]

#ReviewBuku 

Office 12 – Aninta Mamoedi 

Saya pertama kali mengenal Mbak Aninta ketika beliau menjadi editor buku pertama saya, Groningen Mom’s Journal, di Penerbit Elexmedia.

Menurut saya, menjadi editor bukan hanya soal bisa mengedit dan meninjau naskah sampai bisa terbit dengan baik, tetapi juga perlu seseorang yang memiliki rasa ketertarikan dan cinta pada dunia literasi dan buku. Dan Mbak Aninta adalah orangnya. Naskah saya pun lahir dengan apik olehnya.

Beberapa tahun kemudian, saya akhirnya berkesempatan membaca karya Mbak Aninta melalui kumpulan Cerpen Office 12 ini. Kumpulan Cerpen yang berkisah mengenai lika-liku pekerja kantoran di ibu kota. Gimana yaa pas baca kisah-kisah di sini tu saya jadi terbayang masa-masa ketika saya baru lulus kuliah dan rasanya ingin kerja di ibu kota, di gedung perkantoran, menjadi bagian dari mereka yang bekerja pagi hingga malam hari. Ternyata setelah dijalani memang rasanya dunia ini memang keras, Bung! Haha, makanya gak lama di ibu kota.

Komentar pertama adalah, menarik! Meski membacanya lewat flipbook, tapi saya tetap menikmatinya karena ada bunyi gesekan buku ketika saya membalik halamannya. 

Lalu kedua, unik! Sudah lama saya tidak membaca cerpen dengan sudut pandang orang kedua. Buat saya paling sulit berkisah dengan POV seorang narator (sebuah dinding) yang sebenarnya hanya benda mati. 

Melalui dinding-dinging di perkantoran tersebut, banyak kisah-kisah yang terungkap. Ia menjadi saksi dan menyimpan rahasia manusia yang tidak terbaca orang di sekitarnya. Semua ceritanya relevan, ada mengenai kisah mengenai kerja dan passion (anak zaman sekarang banget gak sih? Cari kerja harus yang passion bingit), cerita mengenai bekerja dan aktualisasi diri, konflik di pekerjaan, menjadi bagian dari korporat, urusan dengan bos, cerita cinta di perkantoran. Paling favorit buat saya tentu cerita mengenai ibu bekerja, di bab 5, berjudul Keputusan. Saya bisa merasakan tuntutan sebagai ibu bekerja di ibu kota sulitnya seperti apa. Makanya saya salut. 

Pas sampai di halaman terakhir saya kecewa, lho kok udah habis? Padahal saya yakin masih banyak cerita lain yang disimpan oleh dinding-dinding kantor itu. Pingin lagi baca lanjutannya, hehe.

Selamat Mbak Aninta! Ditunggu karya-karya berikutnya.

Catatan Hati

Born a Crime – Trevor Noah [review buku]

Tadinya saya gak tertarik nonton siaran ‘The Daily Show’ the satirical news program, yang dipandu oleh Trevor Noah. Walaupun banyak yang bilang Trevor Noah itu lucunya cerdas banget, apalagi soal sarkasme yang menyangkut Donald Trump, juara bangetlah. Saya juga sebelumnya gak tertarik nonton stand up comedy-nya Trevor Noah, yang ada di youtube atau Netflix. Padahal Suami pernah nonton, terus saya cuek aja. Males soalnya nonton/dengerin stand up comedy (SUC) tu. Kadang jokes-jokesnya menurut saya gak penting, minim esensi, dan kadang agak ‘dark’ aja gitu (gak tau mungkin saya pernah denger/nonton SUC yang salah aja kali ya😅).

Tapi kemudian yang bikin saya akhirnya tertarik beli autobiografi komedinya Trevor Noah ini adalah ketika saya pernah lihat cuplikan video Trevor Noah yang cerdas saat menanggapi isu ter*risme di Prancis. Udah agak lama sih, 2015 silam, tapi saya baru kapaan gitu nonton cuplikan salah satu show-nya. Katanya: “Most, 99.9% of Muslim people are not terrorists. How do we know this? Because we’re still alive. You understand? There are more than a billion Muslim people on the planet… They have ample opportunities. Those falafels that we buy after the club at midnight? Most Muslims are not terrorists.”

Continue reading “Born a Crime – Trevor Noah [review buku]”
Cerita Runa dan Senja, Children in the Netherlands, Mommy's Abroad, [GJ] – Groningen’s Journal

Yang Menarik dari Pendidikan Anak di Belanda (part 2) – Hikmahnya

Hola-hola Bunda-Bundi, yang ngikutin terus cerita mengenai series pendidikan anak di Belanda, semoga masih setia nongkrong yaah, hehe. Dari yang awalnya cuma mau sharing mengenai pendidikan anak dari SD sampai kuliah di Belanda, eh ternyata postingannya beranak ya Bun. Maklumah emak-emak jarinya suka lemes kalau cerita, jadinya panjang deh. Gapapa ya, daripada lidah yang lemes, saya suka belibet kadang kalau ngejelasin gak pake ditulis dulu, mwahaha. #emakribetdetected.

So, jadi dari bahasan sebelumnya mengenai yang menurut saya menarik dari pola budaya dan pendidikan Londo lalu sampai ke stimulus membaca anak Londo, terus jadi apa dong hikmahnye Bun? Iya sih sistem pendidikan Belanda cakep, seolah tanpa cela. Etapi jan salah Bun, yang namanya sempurna mah cuma milik Allah. Kita mah manusia ilmu terbatas, jadi kalau begini bijaknya adalah bisa mengambil hikmah di balik kisah #tsagh.

Saya gak bilang pendidikan anak di Belanda ini terbaik ya, ada banget kekurangannya mah. Apalagi buat kita yang muslim ya. Kan tetep aja kepengenannya anak tu bisa dapet sekolah yang didikan ilmu agamanya komplit, gak cuma teori tapi sama praktiknya juga. Idealnya mah pendidikan cem Londo yang serba ter-support dengan baik, si anak enjoy, tapi dalam lingkup islami, dan gratis. Yuk ya yuk Bismillah kali aja bisa di masa depan Insya Allah ya, anak cucu kita mana tahu bisa menikmatinya.

Continue reading “Yang Menarik dari Pendidikan Anak di Belanda (part 2) – Hikmahnya”