Begitu banyak tulisan, video, cerita, ceramah, gambar, meme, apapun deh yang menggambarkan betapa ketergantungannya anak muda zaman sekarang dengan gadget, smart phone, dan media sosial (medsos). Berkali-kali juga saya sering menyimak sharing-sharing tersebut baik melalui facebook, youtube, broadcast message di whatsapp tentang bahaya akan ketergantungan medsos. Memang sih setelah itu saya jadi sadar, oh iya nih gak bener saya sering-sering medsos-an bikin waktu jadi gak berkualitas.. Lalu saya pun mengurangi waktu saya dengan hape dan medsos. Di antaranya menjadwalkan no hape pada pukul 18-21. Sehingga suasana malam lebih kondusif. Makan malam bersama keluarga, bercerita bersama, menemani Runa bermain, mengaji, membaca buku, sampai akhirnya tidur. Awal-awal masih bisa kondusif. Tapi namanya manusia tu ya, semangat dan konsistensinya naik turun gak karuan (saya itu mah). Belakangan ya lupa lagi dengan si janji suci untuk mengurangi interaksi dengan hape dan medsos. Lama-lama bablas lagi itu jadwal no hape-nya.
Suatu pagi, saya dapat lagi nih video bagus mengenai Millennial Paradox yang dipaparkan oleh Simon Sinek, seoranng speaker, konsultan, dan penulis asal Inggris. Video motivasinya mengenai How Great Leaders Inspire Action sangat popular di TED. Yang dia bilang di video tersebut meskipun pedas tapi benar adanya. Walaupun saya sudah berkali-kali juga dapat teori atau materi yang mirip-mirip seperti itu. Tapi cukuplah paparan Simon tersebut menampar saya (dan suami, karena kami nontonnya bareng-bareng).
Ya, kitalah generasi milenial, yang lahir di atas tahun 1984 ke atas. Kita, teman-teman kita, lingkungan sepantaran kita yang dibesarkan dengan banyak limpahan gadget dan medsos. Facebook, Instagram, Path, Twitter, Line, Friendster (eh) you name it. Sepertinya interaksi kita di sosmed masih dalam batas normal kok, yaa biasa aja. Tapi men, sebenarnya ga sesimpel itu. Agak susah memang mengakui sesuatu dalam diri kita yang sepertinya benar tapi ternyata salah, it’s paradox. Maka dari itu saya nulis ini biar jadi pengingat buat saya.
Oke biar adil, saya menggambarkan keadaan diri saya sendiri saja sebagai seorang milenial.
Kecanduan
Iya saya tahu sosmed yang dilengkapi dengan hape canggih itu candu. Yang saya gak tahu, ternyata nyandunya itu bisa selevel sama nyandu alkohol atau ngedrugs. Iya saya juga tahu kalau hormon yang bikin senang dan kecanduan itu namanya dopamin. Yang saya gak tahu, ternyata dopamin ini juga berperan saat kita melakukan kontak dengan medsos. makanya kita selalu merasa pengen cek hape, pengen cek IG, pengen cek path, pengen cek apakah foto kita udah di-like berapa banyak orang, apa ada orang yang komentar di laman facebook/IG/Path kita?
Engagement with social media and our cell phones releases a chemical called dopamine. That’s why when you get a text, it feels good. That’s why we count the likes, because you know when you get it, you get a hit of dopamine which feels good (Simon Sinek).
Sebelum tidur, saya cek hape. Sesudah bangun tidur, belum juga baca doa bangun tidur, eh saya cek hape lagi. Setelah bangun solat malam dan merasa cukup berdoa dan ngaji, cek hape lagi. Ke WC pun untuk BAB saya bawa hape, untuk apa? ya cek notifikasi di hape, balasin pesan whatsapp, liat timeline IG, timeline facebook, ikut komentar di postingan orang dll. Pas Runa lagi sarapan saya juga ikut sarapan, sambil nyambi cek hape. Siang-siang lagi pegang laptop atau baca buku, sambil lirik-lirik hape, kedap-kedip ga. Begitu terus sampai sore dan malam. Biasanya saat sore hari pas masak aja sih saya gak pegang hape, takut hapenya nyemplung ke wajan. Malam saya sudah mulai mengurangi interaksi dengan hape. Walaupun kadang-kadang kecolongan sedikit. Kalau Runa bilang, “ih Bunda lihat hape melulu”, saya berkilah “iya ini lagi balesan whatsapp ayah” atau “ini lagi ngontak si fulan dulu buat nanya sesuatu yang penting”. Meskipun pembelaan saya, setiap saya gak buka hape lama-lama kok, paling cuma 5-10 menit, balesin whatsapp dll. Tapi memang intensitasnya sering.
Cape ga sih? It’s an addiction! dan itu gak sehat, serius. Si Simon Sinek ini juga mencontohkan kalau pas lagi dinner sama teman tapi kamu kemudian pegang hape untuk texting seseorang yang ga ada di meja makan itu, itu udah gak sehat. Kalau kamu bangun pagi dan langsung liat hape tanpa say good morning ke pasanganmu, itu udah ga sehat. Atau kalau kamu lagi di suatu meeting tapi matamu ga lepas dari layar hape di sebelahmu yang kedap kedip dan mulai nge-slide si hape ke ayas bawah, itu udah addict.
Hey, itu kamu bukan yang kayak gitu? kamu-kamu-kamu… di hatiku (itu mah lirik lagu ST12, mwahaha.. maap eike emang generasi milenilal yang pernah dipengaruhi sama band-band cem ST12, Wali, atau Kenjen Band)
Nah sebenarnya attach dengan medsos itu gak papa kok, normal. But when it becomes imbalance, it will be a problem.
Hilangnya Real Relationship
“Eh Bun, tahu gak Si Fulan sekarang lagi Europe trip lho.” kata suami suatu kali.
“Oya tahu dari mana Yah?” Kata saya.
“Itu ada postingannya di facebook.”
Besoknya lagi
“Bun, Si Fulanah baru lahiran anak ke-3.”
“Oya?”
“Itu ada di Path kabarnya.”
Itu adalah pembicaraan yang menyelingi saya dan suami sehari-hari. Kadang suami saya meng-update kondisi teman-teman kami dengan melihat dari medsos. Dari path, IG, atau facebook kita bisa mengetahui kalau A lagi kuliah S3 di LN, B lagi liburan ke Bali, C baru menikah, D baru pindah kerja, Anaknya E yang berusia 1 tahun baru bisa jalan, F baru bikin pempek Palembang, G lagi jajan martabak dan kue putu, H lagi wisata kuliner ke Bandung (ketahuan lagi pengen ngemil)
Nanti misalnya begitu kami ketemu sama si A, B, C, D, E, F, dan G, mendadak kayak kami udah tahu semua gitu apa yang dia kerjakan belakangan. Padahal ngobrol sama yang bersangkutan aja enggak, whatsapp-an juga enggak. Tapi kita udah bilang, “Eh gimana kue putunya di Si Mamang itu enak ga?“.
Si G yang jajan putu pun udah merasa ga perlu nyeritain juga ke kami kalau dia kemarin baru dapet tukang putu yang ternyata enak banget. Sebabnya dia merasa kami udah tahu dengan sendirinya: lu pasti udah liat postingan gue di fesbuk kan? Padahal ga semua juga ngeh dengan postingan tersebut.
Ada sesuatu yang hilang rasanya. Sebuah proses pembicaraan untuk bisa sampai ke kue putu tentu ga sekonyong-konyong saya langsung tahu kalau si teman baru beli kue putu kan. Mungkin saya harusnya tanya dulu kamu ngapain aja minggu ini? – lagi seneng jajan – jajan apa aja? – oh kue putu ya – Kue putunya beli di mana? enak ga? dst.
—ini kenapa harus kue putu sih, btw?
Saya takut esensi dari real friendship jadi hilang karena udah dipotong oleh jalur medsos.
Lalu semua orang yang di medsos berasumsi: Untuk mengupdate kabar saya, Saya akan posting aja di medsos, biar semua orang ya bisa tahu, saya gak usah kasih kabar lagi satu-satu. Hilang dong attachment personal-nya? Karena interaksinya ya cuma dari satu arah. . Bisa sih jadi dua arah kalau ada orang yang komentar di postingan kita. Tapi kan (lagi-lagi) gak semua orang baca postingan kita.
Kalau menurut saya pribadi, jika memang orang tersebut menganggap kita memiliki hubungan yang cukup penting, maka dia akan mengabarkan secara langsung pada kita. Contoh: Saya, suami dan anak tinggal jauh dari keluarga besar kami di Indonesia. Tapi tentu kami selalu meng-update kabar kami melalui telepon, video call, atau whatsapp. Gak mungkin kami berasumsi keluarga kami akan langsung tahu kondisi kami melalui sosmed kan? Jadi kami selalu mengabarkan ke orang tua, misalnya Runa mau mulai sekolah hari Senin depan, atau bulan depan kami mau jalan-jalan keluar kota, atau rencana kami mau pindah rumah, sampai ke kabar-kabar yang kurang menyenangkan. Semua itu karena kami menganggap keluarga kami penting dan mereka perlu tahu.
Begitu juga dengan sahabat. Agak sedih memang saya merasa attachment personal saya dengan sahabat-sahabat saya di Bandung, Jakarta, Bekaasi, di Indonesia berkurang intensitasnya. Saya gak bisa bikin janji meet up dengan mereka untuk sekedar update kabar. Saya juga gak bisa curhat-curhat bebas lagi seperti dulu. Paling ada beberapa yang masih intens bertukar kabar melalui whatsapp message atau call. Tentu itu rasanya lebih real (meskipun tidak bertemu), daripada meninggalkan komentar di dunia maya.
Lama-kelamaan interaksi yang hanya melalui medsos ini rasanya jadi dangkal. Lalu skill bersosialisasi jadi hilang.
Kata si Simon Sinek ini lagi pada generasi milenial their relationship superficial, they don’t know to form a relationship, deep meaning of relationship, never practice. The generation that grew up with social media, has found itself lost and confused when confronted with reality.
Iya betul. Ketika kita bete atau senang kita mencari medsos untuk menuangkan perasaan kita, untuk berbagi. we then just rely on social media, not rely on our real friends!
Simon Sinek juga bilang bahwa generasi milenial ini maunya segala-gala yang cepet, yang instan. Padahal di dunia ini mana ada sesuatu yang instan dan pasti enak (kecuali mie instan, Indomie is the best!). Orang jadi cenderung pemalas dan ga mengerti bahwa banyak hal yang harus diraih dengan susah payah. Seperti job statification and deep relationship itu kan harus dibangun dari kerja dan usaha yang nyata. Mana bisa dicapai apa-apa yang kita bangun di medsos?
Instant gratification derived from likes and filters could also turn us into machines, as this kind of stuff is not applicable to real life. As such, basic values like love, joy and finding satisfaction in the little things escape members of the millennial generation and leave them feeling miserable. (Simon Sinek)
Tak perlu menunjukkan pada dunia kalau kita bahagia
Saat saya beraktivitas atau jalan-jalan tentu saya sering mengambil gambar dari apa yang saya kerjakan tersebut. Saya berusaha memfoto yang bagus-bagus. Awalnya saya simpan untuk sendiri. Lama-lama kok pengen ya dishare di Instagram. Pengen posting tentang jalan-jalan saya, tentang saya sekarang lagi sibuk nih main sama Runa, tentang saya lagi di kampus nih ngerjain tugas. Pokoknya posting. Buat apa manfaatnya kadang saya juga gak tahu. Awalnya saya cuma bermaksud: ini sebagai perekam jejak saya aja, biar saya inget oh dulu pernah seperti ini dan pernah ke sana dll. Tapi akhirnya lebih dari itu. Saya juga gak mau mengakui ini: ya ini sih pamerlah, mau apa lagi.
Iya juga. Saya memang mau pamer, saya ingin orang tahu tentang hal-hal yang saya alami. Saya mungkin juga ingin mendapatkan reaksi positif dari orang lain, berupa likes, pujian, atau komentar.
Cocok sih dengan generasi milenial yang dikenal sebagai generasi yang entitled, narcissistic, self-interested, unfocused and lazy.
Narsis dan self-interested! Ini bener ngejepret saya di muka. Itu ada benarnya.
Saya baca suatu quotes yang bagus tapi lupa di mana (pastinya di medsos, bhay). Kalau kita bahagia, tidak perlu dishare atau dipamerkan ke medsos. Memamerkan kebahagian justru menunjukkan bahwa kita ga cukup bahagia. Karena bahagia itu cukup dirasakan saja.
Solusi
Solusi nomor satu tentu: mengurangi ketergantungan saya dari pegang hape dan lihat sosmed. Saya harus menahan diri untuk ga pegang hape saat melakukan aktivitas lain, terutama kalau sedang berinteraksi dengan orang lain. Mengurangi ketergantungan seharusnya memang bertahap. Saat ini saya sudah tidak buka path lagi. Facebook masih perlu dong kan ada grup ODOP, grup jualan, dan grup penting lainnya. Tapi facebook tidak saya pakai untuk posting-posting yang tidak perlu. Facebook Mesengger juga masih diperlukan untuk orang yang gak bisa mengontak saya via telepon/WA. IG masih suka banyak buka sih heuheu.. habis lihat foto-foto itu lebih menarik. Intensitas posting foto yang saya kurangi. Semoga dengan mengurangi attachment dengan hape dan sosmed bisa membuat saya lebih produktif. Semoga istiqomah.
Disclaimer:
- Tulisan ini saya buat untuk menegur diri saya sendiri lho. Jadi jangan pikir saya nyepet kamu para generasi milenial. Tapi kalau kamu memang merasa, ya berarti begitulah adanya.
- Bagi saya blog bukanlah sarana yang sama dengan media sosial yang saya sebutkan di atas. Blog lebih dari sekedar isi curcol atau pamer. Untuk saya blog jadi sarana berbagi dan menuangkan passion saya dalam menulis. Makanya saya selalu nulis pengalaman panjang saya di blog, supaya semua yang meng-google lalu nemu blog saya ya bisa baca, bukan saya tujukan untuk teman-teman medsos saya saja.
Bismillah. Waah,, sharingnya ngena banget nih. Nuhun teh postingan padat berisi. Salam kenal, saya dari Bandung. 😊
halo mbak wildainish, salam kenal 🙂
baguuuuuusssss banget tulisannya mba Monikaa.. makasih yaa. akupun merasakan hal ituu.. perasaan main sosmed cuma instagram dan blog.. (yg lain hampir gak pernah dibuka).. tp kok waktu cepet habis ya..
dan aku kadang belum bisa menerima kalau nanti anakku tenggelam dlm efek negatif generasi milenials dan efek sosmed..
tapi emaknyaaa? (plak tampar pipi)
betul2,, kalo lagi ngeliatin hape tu, 15-30 menit ga kerasa blas.. padahal entah papa yg td dilihat. Sbnrnya mmg oke2 aja medsos,, emg hrs tau batas, itu yg susyeee. Semangat berubah!
moniiiik.. aaah ini baguuuus.. baguuusss bangeet.. ya ampun terutama yang bangun pagi, bukannya say good morning ke pasangan, tapi cari hape.. gusti itu kita bangeeet.. suamiku juga kayaknya gituuu.. dan aku juga sering kena tegur anak-anakku.. ibu mainan hape terus, simpan hp nya.. dan apalagi whatsapp ya monik, itu menyita waktu dan menguras emosi. Kalau whatsapp seru ama geng temen-temen suka lupa waktu, trus kalau di whatsapp grup ada yang bikin emosi, juga bikin emosiiiii.. aaaah gak sehaaat gak sehaaaat.. semoga kapan-kapan kita bisa ketemuan ya monik, dulu monik main ke Fiki di Enschede, kita gak sempat ketemu yah..
Mbak Arinta… Wah kita sama dong penyakitnya mbak. Wasapan juga bikin lupa waktu ya mbak, semua mesej harus dibaca dan dibalesin satu2.. Padahal kita sbnrnya bisa milih mesej mana yg bisa dibalas skrg, atau nanti2, atau bahkan ga perlu dipantengin. Semangat berubah jadi manusia lebih sehat mbaak 🙂
Iya udah lama wkt itu main ke Teh Fiki, kapan kalau Mbak Arinta ke Groningen ktmuan yaa.. atau kalau aku main ke Enschede
monceeee, sumpah ini bagus banget.. njul bookmark ah..
sulit memang sekarang jadi generasi millenial, ga sehat secara psikologis, tapi di sisi lain kalo kita ga keep up jg bakal kesulitan sendiri..
yg jelas emang harus komit sih ya, pas lagi bareng2 keluarga, jangan lama2 pegang hapenya, hiks.. ini susah.
Njuuuuuuuuuulll.. iya ni daku sudah merasa medsos-annya ga sehat, jadi harus diet, haha..
Setuju, harus tetep bisa keep up, menjaga balance-nya itu lho yg susyee kann..
Njuuul tetep apdet2 kabar yaak, pengen tu ngobrol yang buanyaak gitu.. meskipun kita jauh tapi hati mah terasa dekat *tsaaahh. kangeeennn
Aduh aku bingung mau komen apa. Udah terwakili sama komen2 di atas.
Baca ini kayak ditampar bolak balik, Mon. Huwaaaaa TT. Iyasih paling susah itu konsistennya. Tau teorinya, tau nggak benernya tapi susaaah berhentinya *selfkeplak inimah.
Tengkyu banget udah nulis iniii. Aku ijin share ya :*
Make.. Mendadak aku kangen maen2 lagi sama km..
Kalo kangen sama temen2 paling2 buka ig. Krn aku jarang update ig, makanya lebih sering buka fb. Itupun bukan may ngeshare foto aktivitas ku, shakila atau apa. Karena beneran ga mau upload2 foto lagi, bahaya pamer,sombong dan penyakit ain (naudzubillah)
Buka ig buat apa?, mau tau kabar dan mulai jadi muslimah cyber army (apalah daku)..lg ngrasa prihatin aja sama negara..kok ya gini amat..
Nb: udh minta izin sama dano buat ini, dan disetujui asal hati2..
Semoga sehat2 selalu disana yaa .. Ntah kapan beneran bisa ketemu. Kiss kiss kangen buat runa
Duh salah. Ga bisa edit comment ya.
Buka fb buat apa maksudnya
Makasih mbak..saya juga jadi kena tegur..buat saya tidak terlalu candu pada smart phone.
Dan memang ya blog itu banyak gunanya..saya bersyukur punya blog 🙂
Iya mbak bener, kalo blog ga bikin candu dan lebih banyak manfaatnya