“Insya Allah…”
“Insya Allah, it means if Allah will” Akhirnya saya ucapkan juga kalimat itu di tengah-tengah meeting online bersama supervisor dan kedua post-doc yang terlibat dalam penelitian saya.
Saya mengatakannya sebab saya sendiri gak yakin untuk mengatakan “Yes, I can do that“. Sebab saat itu progres penelitian saya sedang terhambat, ada ketidakpastian di dalamnya, setelah bolak-balik kembali ke proses analisis data. Rasanya terlalu sesumbar untuk bilang kalau saya pasti bisa melakukannya, tetapi terlalu pesimis untuk bilang kalau, yaa.. liat nanti aja atau saya gak yakin nih. Dan orang Belanda tentu lebih suka sesuatu yang meyakinkan daripada ragu-ragu: iya ya iya, enggak ya enggak.
Akhirnya saya bilang aja, Insya Allah. Maksudnya ya saya berusaha, tapi tetap akhirnya saya serahkan pada Allah. Biasanya saya jarang-jarang mengucapkan kalimat dengan asma Allah kalau berbicara dengan kolega non-muslim/orang Belanda/Eropa, seperti bilang Alhamdulillah, Insya Allah, Masya Allah. Agak kagok aja, bisi mereka gak ngerti. Paling saya ucapkan dalam hati aja, gak secara lisan. Lain kalau ketemu muslim dari Turki, Maroko, Somali, Suriname, dan lain-lain. Enteng rasanya mengucapkan kata-kata tersebut di depan mereka. Sebab mereka juga pasti mengerti, dan menjawab hal serupa. Bahkan orang Maroko itu sangat enteng menyebut nama Allah ketika memuji.
Misal kalau ditanya, how are you? Ya jawabnya, I am fine, I am doing good, atau goed, prima (dalam bahasa Belanda). Padahal kalau ditanya sama teman sesama muslim jawabnya Alhamdulillah. Kalau dikomentarin, nice work, nice presentation, congrats of your accepted paper, etc. Pengen jawab Alhamdulillah, tapi akhirnya dalam hati aja. Dan jawaban standar aja, thank you.
Sama kalau misal ditanya, nanti kita ngerjain ini deadline-nya tanggal segini ya. Ini nanti kita rencanakan meeting berikut tanggal ini, ini, dan ini ya, Pengen jawab Insya Allah, tapi karagok (kikuk) tadi. Padahal kalau dipikir-pikir kenapa juga harus merasa aneh. Itu kan ucapan kita sehari-hari, tapi merasa harus menyesuaikan ketika lawan bicara dirasa tidak akan mengerti hal tersebut.
Pada saat meeting itu, entah mengapa, mungkin rasanya udah pasrah aja. Saya gak pengen ngucapin dalam hati, tapi ingin lisan juga melontarkan hal tersebut, rasanya lebih afdhol aja, “Insya Allah”. Alih-alih heran, salah satu postdoc malah ikut mengucapkan, “Oh ya, Insya Allah then“, terus dia tersenyum. Saya jadi tambah lega, meskipun saya tahu dia muslim juga bukan, percaya Tuhan juga enggak. Setidaknya saya sudah berusaha menghadirkan “Allah” dalam diskusi kami. Di akhir meeting Si Ibuk supervisor saya malah ikutan, “We will see the results then, and if it’s ok…−Insya Allah−, we will finish it in two weeks.”
Sejak itu saya merasa, bahwa mungkin sebenarnya gak ada masalah untuk mengungkapkan ucapan-ucapan dengan nama Allah di depan orang Londo ini, biasa aja kali. Cuma kita aja yang suka overthinking, mikir kalau takut dianggap aneh. Padahal kan itu bisa jadi lahan dakwah kecil kita, bisa menunjukkan pengangungan kita pada Allah SWT. Meski kadang ada rasa kagok, tapi dicoba aja, Insya Allah rasanya lebih nyaman.
Lucunya, saya baru saja pekan ini papasan dengan si postdoc tersebut tanpa sengaja, di koridor kampus. Udah lama gak ketemu langsung sejak liburan musim panas lalu. Kami pun berbincang. Ngobrolin progres PhD saya, dan tentunya riset yang dikerjakan bersamanya. Saya bilang (Alhamdulilah, dalam hati) sudah hampir selesai, dan sedikiiitt lagi kita akan submit, kalau lancar. Gak nyangka malah dia menyambung, “Insya Allah”. Saya jadi terperangah, dan agak tertohok. Harusnya kan saya yang bilang itu. Ya Allah, Moniikk.. kamu tu mentang-mentang ya udah mau beres terus gak bilang Insya Allah, dalam hati aja lupa. Padahal kamu ingat dulu pas kamu ragu-ragu di tengah jalan saat ngerjain riset itu, kamu bilang Insya Allah terus, mau bagaimanapun progresnya. Saya jadi malu.
Saya bilang, “Ah you still remember about that?”
Dia tersenyum simpul.
Saya doakan si Mas Posdoc ini diberi kelembutan hati dan hidayah oleh Allah. Tadinya mau saya sambung dengan, hayuk Mas kita ucapkan bersama-sama, “Asyhadu alaa ilaaha illallaah, wa asyhaduanna muhammadarrasuulullah“. Tapi gak jadi, bisi terlalu cepat prosesnya, haha.. *canda ini mah.
Saya semakin teryakinkan untuk banyak mengucapkan asma Allah dalam setiap langkah kita. Sebagai pengingat, bahwa manusia ini gak ada apa-apanya kalau bukan karena kasih sayangnya Allah. Sebagai zikir, agar lisan ini senantiasa mengucapkan hal-hal yang bermanfaat. Aamiin.
Hai Kak Monika. salam kenal kak. jangankan di luar negeri kak, di indonesia pun kadang masih suka begitu apalagi kalau berbicara dalam hal professional atau di kantor. namun kalau kita telaah arti insya Allah. sebenarnya logis sih kita pakai kata-kata Insya Allah ketika kita melakukan perencanaan. ya kita sudah berencana dan punya plan A dan B atau c mungkin. tetapi jika ada force majeur juga bisa saja semua plan itu tidak terlaksana.
semangat kak untuk selalu syiar islam di Belanda. sukses selalu kak.
jika berkenan boleh kak review atau input blog saya. Terima kasih kak Monika
Ohh iyaa ya? Padahal kukira di Indonesia bisa lebih mudah diucapkan dan gak kagok ya, walaupun orang2nya dalam konteks profesional atau kantoran. Aamiin makasih doanyaa, makasih udah mampir di blog saya 🙂