Sepertinya hal yang satu ini harus ditulis, biar rasanya lega. Soalnya dari beberapa bulan kemarin saya merasa masih agak gamang dengan yang namanya pindah.
Iya pindah. Jadi dalam sebulan ke depan, Insya Allah saya dan keluarga akan menempati rumah baru, di lingkungan yang baru, juga termasuk sekolah Runa yang baru. Tadinya sebelum merencanakan pindah ke sana, saya selalu melontarkan denial dengan perkataan pada suami saya. Seperti, “Beneran mau pindah?”, “Rasanya susah membayangkan pindah dari lingkungan sekarang ke tempat baru.”, sampai “Gak bisa ya kita cari rumah di daerah sini aja?”
Tapi memang pada kenyataannya kami sudah berusaha untuk mendapatkan rumah di daerah tempat kami tinggal sekarang ini. Ada tiga rumah yang kami datangi. Satu dari tiga itu cocok banget rasanya, tapi harganya bok yang ga cocok di kantong. Lalu kami juga kalah bidding, sebab ada yang menawar jauh di atas harga yang kami tawarkan.
Ketika ternyata perjalanan mencari rumah lebih mulus ke daerah berlawanan dengan daerah rumah saya sekarang ini, saya mulai menata hati dan mempersiapkan kemungkinan bahwa rumah itulah jodoh kami. Qadarullah memang iya, prosesnya dimudahkan. Dari mulai kami bertemu dengan owner rumahnya langsung (yang punya rumahnya adalah sepasang nenek-kakek dan yang membantu menjualnya adalah anaknya) sampai pada proses pengajuan harga, proses ke bank dll. Rupanya sejak awal suami saya sudah terkesan dengan rumah tersebut. Berbeda dengan calon rumah-rumah yang kami datangi sebelumnya, kami selalu disambut oleh makelar rumah. Bagaimanapun beda ya interaksi dengan makelar dan pemilik rumah sesungguhnya. Rasanya lebih klik. Rumah tersebut masih terasa lebih hidup dan apik di tangan nenek kakek tersebut.
Alhamdulillah proses deal dengan rumah sudah oke. Selanjutnya tanda tangan kontrak dan serah terima kunci, yang akan kami hadapi beberapa hari ke depan. Denial saya yang berupa perkataan sudah tidak keluar lagi. Semuanya Insya Allah sudah hampir beres. Tinggal denial yang kadang masih berbunyi dari dalam hati saya. “Bagaimana nanti dengan ini dan itu?”, “Apa saya akan bisa menikmati rumah dan lingkungan di sana seperti saya menikmatinya di sini?”.
Saya memang orang yang termasuk setia, susah pindah ke lain hati kalau udah klik. Atau mungkin saya orangnya agak susah move on kali ya, haha. Ya habis sudah hampir empat tahun kami tinggal di lingkungan ini. Sejak pertama saya menginjakkan kami di daerah Kajuit, Lewenborg ini, sedikitpun saya tidak pernah komplain. Orang bilang Lewenborg itu jauh dari mana-mana. Kata saya? Ah itu hanya perasaan dia aja. Lagipula saya udah biasa dengan yang namanya tinggal di tempat yang jauh. Rumah ortu di Kopo, Sejak SD sampai kuliah, jarak yang harus saya tempuh bisa sampai 10 km, belum dengan macet, panas, angkot ngetem, dll. Saya sudah kenyang dengan itu. Jadi tinggal di Lewenborg menurut saya relatif tidak jauh, itu udah reachable ke mana-mana.
I really love everything in our neighborhood. I love the rustic suburban area here. I love the quiet atmosphere, where I still can hear the birds chirp every morning from my room. I love the people who I even did not know and they always greet me, say hallo and goede morgen. I love the green view encompasses the path to our neighborhood.
I love the winkelcentrum Lewenborg, with the typical-unique smell in each shop. I love the Kardinge, with the running path there, also the lined up trees. It also the place in my first cover book!
I love Runa’s school, the Jenaplan onderwijs, the Juf, the children, the moeder and vader van Runa’s friends, the playground of the school, the school portal that always send me about update news and photos, the weeksluiting, aaahhh!
I really love our neighbors (especially the Indonesian people ya), they are family that Allah intentionally sent to us when we far apart with our family in Indonesia. The tahfiz, the night gathering, the assisstance, the sincerity, aaah…
But yes, the show must go on. We must choose and go thorugh it. We believe that Allah never wrong, He knows whats best for us. Moreover, it is not like we move to another city, we just move to another part of Groningen. It’s not far away though! We still can see our neighbors anytime, we also still can do the tahfiz and night gathering. I still can go to Kardinge if I want (although need more effort heu, not just like 5 min walk).
Eventually, I realize, the denial in my mind just my “self talk”. I’m afraid of anything that actually not necessarily happen!
Well ya sudah, uneg-unegnya udah keluar, biar agak kerenan jadi nginggris, entah napa, haha.. karena curhatan pakai bahasa Indonesia udah kelar di buku catatan saya sendiri.
Pada akhirnya saya menyadari, bahwa kita tidak boleh terlalu mencintai sesuatu. Mungkin ini salah satu cara Allah mengingatkan saya bahwa dunia ini ya cuma gini-gini aja, kadang pindah, kadang kita harus move on dari keadaan kita sebelumnya. Untuk apa? Tentunya untuk menjadi yang lebih baik, untuk mencari berkah. Yang kita tempati saat ini hanyalah persinggahan saja. Nanti akan ada tempat yang abadi.
Teringat nasihat seorang Al-hafiz ketika ia juga sendang mencari tempat tinggal selepas pulang dari Groningen ke Bandung. Tak henti-hentinya ia berdoa,
رَّبِّ أَنْزِلْنِيْ مُنْزَلًا مُّبَارَكًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْمُنْزِلِيْن..
“Ya Allah, tempatkan aku di tempat yang berkah, dan Engkau adalah sebaik‐baik pemberi tempat.” (QS. Al‐Mu’minûn/23: 29).
Doa itupun yang menyertai kami ketika mencari rumah dan akan pindah. Aamiin aamiin.. ya Rabbal ‘alamiin.
saya pribadi ga begitu suka dengan pindah sih hehee soalnya harus beradaptasi lagi…
sama sih mas, haha.. saya juga paling males sama pindah. tapi manusia sejatinya harus terus bergerak menuju lebih baik, doakan..