Mommy's Abroad, [GJ] – Groningen’s Journal

Catatan Ramadhan 1439: Mubazir – sebuah Jalan Keluar dari Keraguan


Setiap bertemu hari Senin, pikiran saya sering gelisah, terutama ketika membuka hari. Setiap hari Senin jam 9 pagi, saya memang sudah ada jadwal untuk ke kampus. Setidaknya ada dua jadwal meeting yang harus dihadiri di kampus. Yaa.. gak wajib-harus sih. Tetapi itu sudah jadi agenda rutin di departmen saya, sebagai anak bawang PhD yang baru mulai, sebaiknya saya manut apa kata supervisor. Terkadang di Monday Morning Meeting jam 9 pagi itu dan di GANG meeting jam 11, saya merasa pikiran saya loss aja gitu. Kalimat-kalimat yang berseliweran dalam presentasi dan diskusi bahkan ada yang tidak saya mengerti sama sekali. Saya merutuk, bergumam tidak jelas dalam hati. Hati dan pikiran saya seperti melakukan diskusi sendiri.

Ya Allah, napa saya ada di sini?

Apakah saya tidak salah tempat?

Why do I even hear something I do not understand entirely?

Kenapa saya tidak di rumah saja, nyaman di depan laptop, ngerjain hobi saya, baca sampai sakit mata, ngetik sampai pegel?

Apa yang saya kejar dengan mengambil sekolah lagi? Cukuplah saya mengurus bayi saya-yang makan MPASI aja belum-, sambil sesekali tidur siang bareng?

Entah berapa kali Senin saya lewati seperti itu. Dan entah berapa kali juga saya selalu curhat hal yang sama pada suami.

Bukan saya gak bersyukur dengan mengambil S3, bukan juga merasa menyesal. Hanya merasa banyak ragu. Meeen.. pikiran banyak ragu ini yang sering bercokol di kepala: Emang bisa, emang mampu? Emak-emak anak dua, satu toddler, satu bayi.

Yang utama dipikirin tentu bukan gawean S3, tapi gawean lain-lain, yang kadang saya juga gak tahu apaan. Bisa ke kampus dengan tenang aja udah Alhamdulillah banget. Bisa ngerjain to do list dengan efektif, bisa menangkis email dari supervisor dengan jawaban lumayan, rasanya udah lega. Padahal rentetan empat tahun ke depan aja belum kebayang kayak apanya.

Sampai di momen sebelum Ramadhan, hati dan pikiran saya masih banyak bertanya dan mengunderestimate diri sendiri. Walaupun beberapa kali sebenarnya saya mendapatkan momen-momen suntikan semangat yang luar biasa juga beberapa study case yang menohok, membuat saya merasa kesulitan saya gak ada apa-apanya. Tapi tetap saja ada yang ngganjel. Emang orang kalau memang udah punya level rendah diri yang berkarat, susah dibersihkan.

Suami pun selalu bilang: “Bunda itu sudah diberikan Allah amanah untuk lanjut kuliah ketika sedang menjadi ibu. Artinya ya Allah sudah tahu kemampuan Bunda bisa.

Saya lalu bertekad, ya Allah saya ingin membuat momen Ramadhan ini sebuah titik tolak. Titik di mana paling tidak saya menemukan alasan, mengapa saya ada di depan komputer, mengerjakan proyek phi-ej-di yang masih ngawang, di sebuah ruangan di UMCG, sementara anak-anak saya dititipkan ke orang?

Qadarullah, Allah mentransfer jawabannya secara tidak langsung. Saya mendapat oleh-oleh dari KALAMI, Kajian Islami Musim Semi, yang biasa diadakan SGB Utrecht sebelum Ramadhan. Tadinya saya hanya berpikir, ya udah yang penting hadir saja. Biasanya ceramah dari pengisi materi atau ustadznya menarik, kan bisa jadi bekal menyambut Ramadhan.

Lalu, entah mengapa di keseluruhan materi yang panjang, ada secuil beliau bahas mengenai mubazir.

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“…. dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS, al-Isra`:26-27).

Sejak dulu saya selalu memahami ayat ini dari sudut pandang harta saja: menghambur-hamburkan harta, membuang-buang materi entah makanan atau benda lain, tidak memakai sesuatu dengan bijak, dan seterusnya. Dan memang dari arti dan pembahasan yang sering saya dengar umumnya ayat tersebut membahas mengenai harta.

Ternyata Sang Ustadz Bijak tetiba berkata (dengan redaksi yang kurang lebih begini): Orang yang mubazir itu bukan lagi temannya setan lho, lebih dari itu, saudaranya setan. Saudara!

Dalam hati saya masih menangkal: Ah saya bukan orang yang terlalu mubaziran kok, saya sebisa mungkin hemat dan berusaha selalu menyisihkan apa yang dipunya untuk bersedekah

Ustadz masih melanjutkan (redaksi disesuaikan): Mubazir itu Anda pikir hanya dari soal materi? Mubazir juga bisa berupa kondisi seperti ini: Anda diberi kemampuan untuk berkarya, untuk melakukan banyak hal, tetapi Anda hanya diam saja berpangku tangan. Anda punya ilmu, tapi Anda diam. Anda punya kelebihan, kekuatan, tapi tidak dimanfaatkan. Itu adalah mubazir! Anda memberikan presepsi yang lebih rendah pada kemampuan yang sudah Allah berikan. Itulah saudaranya Setan. Anda akan akan ditanya nanti apa yang sudah Anda lakukan dari kemampuan yang sudah Allah berikan. Naudzubillah.

Seketika saya merasa tertohok. Allah memang memberikan jalan yang relatif  mudah untuk saya di posisi sekarang (terlihat mudah dari prespektif sebagian orang ya, buat saya sih berliku). Tapi intinya saya toh ada di posisi ini sekarang. Artinya saya tidak ingin jadi orang mubazir, saya harus bisa menggunakan apa yang sudah Allah berikan dengan baik. Semoga jalan yang saya tempuh sekarang ini bukanlah tujuan dunia, tetapi tujuan akhirat. Ada jalan-jalan dakwah di dalamnya, ada sari-sari syukur dan berkah di dalamnya, ada benih sabar yang senantiasa ditumbuhkan. Subhanallah.

Bismillahirrahmanirrahim. Semoga istiqomah

Semoga saya, keluarga, dan kita tidak termasuk sebagai orang-orang yang mubazir, aamiin.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s