Just Learning, Life is Beautiful, Trash = Relieved

Belajar Memaafkan dari Anak Kecil


Runa punya banyak teman. Ia senang sekali bermain sama teman-temannya. Tapi namanya juga bermain, kadang ada hal-hal yang bikin anak-anak ini berantem atau marah-marahan. Tipe anak emang beda-beda sih. Ada yang usilnya ga ketulungan, ada yang dominan dan suka ngatur-ngatur, ada juga yang cengeng. Ujungnya satu ada yang ngambek, satu ada yang nangis, atau satunya lagi merasa sebal. Kadang mereka bisa menyelesaikan sendiri masalahnya dan baikan. Kadang butuh orang tua juga yang memediasi mereka, untuk saling minta maaf, salaman, lalu berpelukan. Awalnya sih pada gengsi, tapi lima menit kemudian, eh mereka udah main-main lagi kayak biasa, seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Besok-besoknya pun mereka gak ada yang mengungkit-ungkit peristiwa yang bikin mereka berantem.

Saya pun memperhatikan Runa dan kawan-kawannya seperti itu. Runa termasuk anak yang cengeng, kalau adu bodi atau adu mulut, pasti dia yang mewek duluan karena ga bisa ngelawan. Kadang saya gemas sih liat Runa, kok lebih mudah nangis daripada melawan. Tapi kemudian saya berkaca pada saya sendiri, dulu waktu kecil saya lebih parah cengengnya. Bahkan kalau ketemu sama saudara/om/tante yang pernah kenal saya pas kecil, komentar mereka pasti: “Monik nih dulu kecilnya cengeng banget, mangkanya orang seneng banget bikin monik nangis.” Okelah, mungkin gen cengeng itu menurun dari saya. Sampai sekarang saya juga bawaannya mellow dan gampang terhanyut (kaiiin kali hanyuut).

Eniwei, balik lagi pada topik anak-anak, berantem, dan maaf-maafannya. Saya salut lho sama mereka. Sungguh hati mereka benar-benar bersih, masih dijaga oleh Allah. Meski sebelumnya mereka berantem kayak apa, tapi sebentar saja mereka sudah baikan. Lalu gak ada tu dendam mak lampir bergelayut di hati mereka. Seolah gak kapok, besoknya mereka masih main sama-sama lagi. Kalau berantem ya maafan lagi. No left feeling and no unfinished businsess.

Saya jadi malu. Sebab sebagai orang dewasa (yang harusnya) bisa lebih bijak, kalau ada suatu masalah dengan orang lain ya sudah gak usah diperpanjang. Apalagi sampai bikin hati sesak, ruginya dobel-dobel. Ditambah lagi jika yang membuat kita bete, marah, tersinggung juga adalah sesama muslim, saudara kita. Yaa.. sebagai sesama muslim harusnya legowo dan saling memaafkan. Tanpa ada ekor di belakangnya: “tapi kan dia nyinggung saya duluan”, “tapi omongan dia tuh yang nyelekit”, “harusnya dia sadar diri dong sama kesalahan dia dulu.”. Yah no matter what the misatake is.. memaafkan ya tuntas gak pakai “tapi”.

We can’t control ones behaviour, but we can control ours. Terserah deh dia mau gimana-gimana, yang penting kita yang bisa jaga hati. Itu sih yang masih sulit. Kadang emosi kita bisa terpantik dari satu atau dua kalimat seseorang, atau dari tindakan seseorang, (yang mungkin dia gak bermaksud jahat). Tapi kemudian emosi itu yang bikin kita panas dan ingin membalas. Nah.. sebagai manusia yang suka khilaf ini saya belajar dari anak-anak yang masih suci dari dosa.

Ketika ada teman yang usil dan bikin kesal, tentu mereka juga gak bermaksud jahat, wong namanya juga anak-anak. Dan ketika mereka sudah saling memaafkan, clear, sudah. Besoknya mereka bermain lagi.

Mungkin kita harus belajar dari pola pergaulan anak-anak ini. Ketika ada yang menyakiti kita, positive thinking aja dulu, mereka ga bermaksud jahat. Kita yang harus mengontrol reaksi kita ke depannya. Dan ketika sudah sadar akan kesalahan masing-masing, ya sudah maafkan. Jangan sampai memutus tali silaturahmi.

Wallahua’lam

__

Buat sahabatku yang pernah bercerita padaku bahwa ia merasa sangat sakit hati pada omongan/tindakan seseorang/sekelompok orang, I knew what you feel. Iya dirimu, yang lagi baca. Pasti dirimu baca postinganku, haha.. walaupun udah agak lama juga dirimu ga nulis blog. Betewe, saya bukan nulis ini berdasarkan pengalaman kamu sebenarnya, tapi pengalaman pribadi. But I can imagine your position at that time. Don’t waste your time on such issues. Lupain yang bikin sesak hatimu. Ini aku juga sambil monolog haha..

Ada suatu doa yang ketika dibaca, maka hati terhimpit gunung pun, jadi plong..

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ

وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Tiada illah selain Allah, zat yg Maha Agung lagi Maha Lembut..
Tiada illah selain Allah, Rabb –Penguasa ‘Arasy– yg Maha Agung..
Tiada illah selain Allah, Rabb –Penguasa Langit, dan Penguasa Bumi, dan Rabbnya ‘Arasy– yang Maha Mulia..

Kata temannya suami saya (yang menuliskan nasihat itu di laman facebooknya). Doa itu shahih dibaca oleh Rasulullah SAW di kala beliau mengalami masa-masa sulit, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim RA.

1 thought on “Belajar Memaafkan dari Anak Kecil”

  1. duh ini paas bangeet.. kadang kita tuh gak pernah tahu ya benang merah orang per orang, kita ketemu juga cuma sekali jaman dahulu kala hehe.. pas runa masih bayi ya.. tapi trus aku sukaa banget baca blog nya monik.. dan kala hati sempit syebel ama orang, eeh pas banget baca iniiiiii…
    Sungguh unik ya cara Allah menghubungkan benang merah setiap manusia.. mamaciiih yaaaa share nyaaaa

Leave a reply to arinta Cancel reply