PhD Defense adalah bagian terujung dari perjalanan PhD di Belanda. Katanya sih hal paling menegangkan sekaligus mengharukan. Walaupun katanya lagi bukan bagian tersulit dari studi PhD. Kenapa? Defense lebih pada seremonial pengukuhan saja, yang didahului oleh serangkaian diskusi antara opponent (penguji) dan promovendus. Oponen yang hadir merupakan reading committe yang menentukan buku thesis si promovendus layak “terbit”, dan profesor/doktor di bidang terkait penelitian di buku thesis. Diskusinya secara umum bukan debat atau bantah-bantahan, ngotot-ngototan. Tapi lebih pada bertukar ide, menanyakan pendapat, mengonfirmasi. Sebelum bertanya bahkan para oponen dengan sangat sopan memuji dan memberi selamat pada promovendus atas buku thesisnya, kerja kerasnya, tak lupa menyelamati promotor/supervisornya juga.
Baca sebelumnya mengenai PhD thesis book dan propositions
Sebenarnya bagian tersulit dalam PhD journey adalah merampungkan semua penilitian dalam bentuk buku. Masa-masa mengerjakan riset, mengolah data, menyusun manuskrip, sampai mengirimknnya pada jurnal. Dari situ masih ada proses penolakan berkali-kali oleh jurnal, proses revisi yang panjang, menulis rebuttal letter pada reviewers. Jadilah ketika manuskrip itu publish, ia sudah melewati pedasnya peer review. Tapi bagusnya, ketika sudah publish, kita ga perlu repot lagi menyusun manuskrip tersebut ke buku thesis. Otomatis ia sudah menjadi bagian chapter buku thesis. Semakin banyak publikasi kita yang masuk di buku thesis, semakin sedikit chancr untuk mendapatkan banyak revisi dari reading committe. Dalam waktu 4-5 minggu mereka akan memeriksanya dan menyatakan layak/tidak maju defense. Alhamdulillah, thesis saya tidak ada revisi sama sekali dari mereka. Bisa dibilang sebenarnya itulah saat sebenarnya lolos dari lubang jarum. Sebab yang saya bilang tadi, defense hanyalah sebagi seremoni saja.
Ketika PhD student yang sudah menyelesaikan beberapa studinya dan ‘mengumpulkan’ chapters untuk buku thesis, adalah menjadi tugas supervisor untuk menentukan bahwa PhD student ini sudah bisa submit thesisnya ke reading commitee atau Hora Finita. Saat itulah sebenarnya perjalanan PhD dianggap “selesai”. ‘Yang penting submit’ adalah asas yang dipegang oleh para PhD student. Ketika sudah submit, selanjutnya terserah anda. Artinya ujian terberatnya sebenarnya sudah selesai… it’s over….
Eh ternyata belom, hahaha. Meski ujian terberat adalah menyelesaikan buku thesis, tetapi menghadapi defense juga menjadi momok tersendiri. Seperti hal yang paling akhir yang menandakan the real finish, yang mau gak mau harus dihadapi. There’s no way back, friend.
Momen cukup sekali dalam seumur hidup, tapi begitu menengangkan. Gak usah ditanya tegangnya kayak apa. Seremoni yang berlangsung dipandu oleh Meneer Rector, juga sebagai moderator diskusi. Selanjutnya para oponen diber waktu sekitar 5-7 menit untuk bertanya dan bertukar pikiran. Oponen saya berjumlah tujuh orang, semuanya wanita mwahaha.. (mereka diajukan oleh promotor saya dan di-approve oleh Hora Finita), Mereka terdiri dari enam profesor dan satu doktor.
Waktu 45 menit diberikan untuk diskusi. Satu-persatu para oponen melemparkan pertanyaannya. Promovendus pun berusaha menjawab. Katanya kalau gak bisa jawab pun gak apa-apa. We don’t have to know everything. Tapi di sisi lain we are the one who know everything behind the book. Jadi kalau oponen bertanya apapun, sebenarnya tetapi kita yang lebih tahu seluk-beluk isinya. Kadang pertanyaan yang dilemparkan juga lebih umum. Yang paling sering saya dengar adalah: if you have any chance to do better in your study, what will you do? Atau what will you do next related with your previous findings? Atau if you get 1 million euro for research in this field, what will you do? Artinya jawab apa aja gak apa-apa, gak ada benar dan salah. Tapi yang jadi masalah itu, kalimat yang mau kita jawab keluar gak dari bibir kita? Saking groginya kan bisa aja jadi blank dan membisu. Apalagi kudu mikir pake Enggres ya kan belibet. Lidahnya biasa sama sambel terasi bukan saus keju.
Ketika bedel menyatakan ‘Hora Finita’ (the hour has ended), artinya selesai sudah sidang terbuka ini. Selanjutnya oponen dan promotor keluar ruangan dan akan berdiskusi sekitar 15 menit untuk menentukan lulus/tidaknya promovendus. Padahal mah ijazah segede meja itu udah dicetak dan ditandatangan juga sama promotor dan Rector Magnificus. Promovendus dan paranim juga ikut keluar ruangan, untuk mengelus dada lega, wkwk.


Setelah 15 menit, oponen dan promotor kembali ke ruangan. Diikuti kembali promovendus dan paranim. Sidang kembali dibuka dengan pembacaan dari rector bahwa promovendus dinyatakan lulus. Sebelum penyerahan ijazah, promotor utama atau supervisor pertama akan membacakan testimoni untuk si promovendus. Bagian yang biasanya personal dan menyentuh.
Dulu saya sering membayangkan apa yang akan si Ibuk bacakan untuk saya, soale si Ibuk orangnya kan formal banget, agak dingin, dan sedikit banget personal touch-nya. Bener aja, ia memang tipe yang sangat detail memberikan testimoni, tapi lebih pada perjalanan PhD saya. Dia memberikan pujian mengenai usaha saya dalam mengikuti konferens yang berbuah 10 best poster nominee, oral presentation di konferens terbesar untuk bidang farmasi/farmakoepidemiologi, dan prestasi saya mengikuti 3-minutes pitch. Dia notice kalau kemampuan presentasi dan menyiapkan slide saya sangat niat. Meski dalam segala tantangan baru punya baby, dari kultur berbeda banget sama si Ibuk, kena pandemi, penundaan riset di Indo, tantangan riset yang berubah, akhirnya si Monik ini bisa beres juga. Akhirnya si Ibuk jadi orang pertama yang menyalami dan menyelamati setelah ia selesai membacakan testimoni.
Baru deh ijazah diberikan, dan leganya sudah turun sampai ke lutut. Alhamdulillah.



Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Behind the fruitful my PhD journey, there is a family who provided unwavering support, pray, encouragement, and love throughout the path. Words cannot express the depth of my gratitude for all the kindness and support I have received from my family, Mama-Papa, Ibu-Bapak, sisters and brothers, my husband, and my daughters. I am truly blessed and humbled by the generosity of those around me. Alhamdulillah. Masya Allah Tabarakallah.